DPR dari Masa ke Masa

Diposting oleh arief setiyawan di 22.42.00

Lembaga perwakilan rakyat ini mulai menggeliat setelah pemilihan umum tahun 1999, betul-betul hasil pilihan rakyat yang demokratis. Sebelumnya, pada era Orde Baru, DPR hanyalah “stempel karet” pemerintah. Apapun yang dilakukan oleh pemerintah, DPR selalu setuju dengan aklamasi. Tidak ada perdebatan seru yang ditayangkan oleh TV. Segala sesuatunya berjalan dengan adem ayem.
Akibatnya adalah semua program pemerintah berjalan dengan mulus. Partai politik pun cukup tiga saja, yaitu Golkar, PPP dan PDI (tanpa P). Seluruh organ birokrasi dikuasai oleh Golkar yang berlaku sebagai partai pemerintah. Sedangkan PPP dan PDI telah di”bonsai” sebagai pohon hiasan yang kerdil, sebagai pajangan demokrasi belaka, sebagai partai oposisi gadungan.
Selama 32 tahun proses ini terus berlangsung. Rakyat tidak protes karena secara relatif sandang pangan mereka terpenuhi.  Para elite politik pun bungkam dalam seribu bahasa karena mereka takut bersuara, hanya mendumal dalam hati. Karisma serta wibawa Pak Harto tak bisa diganggu gugat.
Pada saat itu jarang terdengar anggota DPR atau DPRD yang melakukan korupsi. Mereka hanya manggut-manggut saja, tetapi selalu rajin hadir dalam rapat-rapat. Tingkat kehadiran mereka relatif tinggi, Fungsi legislasi dan anggaran  dijalankan dengan baik dan benar, kecuali fungsi pengawasan yang tidak berani mereka lakukan. Kalah wibawa dengan presidennya.
Setelah Orde Baru tumbang, mulailah DPR berperan sesuai dengan fungsinya, bahkan, kebablasan. Mereka merasa menjadi yang lebih berkuasa dibandingkan dengan pemerintah. Mereka adalah hasil pilihan rakyat. Sedangkan dalam prinsip demokrasi rakyatlah yang berkuasa, dengan demikian, anggota DPR adalah yang mewakili kekuasaan rakyat.
Akibat dari pemikiran yang meletup setelah selama 32 tahun diberangus, maka anggota DPR hasil pemilu 1999, 2004 dan 2009 sering bertingkah laku seperti kanak-kanak yaitu mau menang sendiri, kalau keinginannya tidak dipenuhi suka marah-marah, sok kuasa. Sampai-sampai Gus Dur menyamakannya dengan taman kanak-kanak.
Anggota DPR sekarang lebih memusatkan diri pada pengawasan daripada legislasi dan anggaran. Semua bidang mau diawasi, terutama bidang hukum dan ekonomi. Banyak panitia kerja dibentuk untuk menampung aspirasi mereka sendiri. Tampaknya mereka sibuk kesana kemari, memanggil ini itu, berteriak sana sini.
Sementara itu yang bolos makin banyak saja sehingga pimpinannya sampai pura-pura pusing. Mereka pura-pura pusing bagaimana mengendalikan 560 orang anggotanya, karena sebenarnya mereka sendiri tidak berdaya. Disiplin kerja mereka kalah dibandingkan dengan buruh pabrik. Tentu saja mereka marah jika disamakan dengan buruh pabrik karena mereka adalah wakil rakyat, wakil kekuasaan. Adalah sangat ironis mereka masih menginginkan pembangunan gedung baru senilai Rp 1,8 trilyun padahal ruang sidangnya saja seringkali tampak kosong.
Tampaknya kecenderungan untuk melanggengkan kekuasaan DPR ini membuat mereka lupa daratan. Fungsi legislasi diabaikan. Padahal, dengan keluarnya undang-undang yang mengatur dan memberdayakan masyarakat akan sangat membantu pemerintah menjalankan roda birokrasinya.
Contoh kongkrit yang diungkapkan oleh Kompas 31/7/2010, realisasi legislasi DPR sangat menyedihkan. Realisasi tahun 2005 hanya 25,45 %  (14 dibandingkan target 55), 2006 naik menjadi sebesar 51,31%  (39 dari 76), 2007 relatif sama yaitu sebesar  51,28 % (40 dari 78), tahun 2008 naik menjadi 75,30 % (61 dari 81), 2009 turun menjadi 51,31 % (39 dari 76) dan sampai Juli 2010 anjlok drastis baru mencapai 10 %  (7 dari 70) sedangkan waktunya tinggal 5 bulan lagi.
Semula kita berharap dengan anggota DPR yang dipilih langsung, maka mutu serta kinerja mereka akan jauh melampaui senior mereka sebelumnya. Tetapi kenyataan yang dihadapi sungguh pahit. DPR hasil pemilu 1999 diharapkan lebih baik daripada era Orde Baru, ternyata hasilnya mengecewakan. Kita mengharapkan kualitas serta kinerja DPR hasil pemilu 2004 lebih baik daripada DPR 1999, ternyata hasilnya juga mengecewakan. Kita mengharapkan DPR hasil pemilu 2009 seharusnya lebih baik daripada sebelumnya, ternyata hasilnya juga mengecewakan walaupun belum setahun mereka bekerja.
Tidaklah mengherankan jika Gus Dur ingin membubarkan DPR melalui dekritnya seperti dekrit presiden Juli 1954, namun dekrit itu sudah gugur sebelum dikeluarkan karena Gus Dur nya justru yang dibubarkan oleh MPR.
Harapan kepada DPR 2009 masih belum padam. Mereka masih punya waktu untuk mawas diri sambil memperbaiki kinerjanya. Jika rakyat dan mahasiswa sudah terlampau muak maka bukan hanya atap DPR yang akan dicat seperti yang dilakukan oleh seorang Pong Hardjatmo, tapi sekujur tubuh anggota DPR nanti yang akan dicat.

0 komentar:

Posting Komentar

Kaca Ngajeng

Related Posts with Thumbnails
Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Daftar Blog Sahabat