Anda ingin melihat buaya hidup sebanyak 2.800 ekor, datanglah ke lokasi penangkaran buaya milik Lo Than Muk, 80, di Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang di Jalan Bunga Raya II Kota Medan, Sumatera Utara. Tidak hanya dilihat dari jumlahnya yang cukup banyak, di penangkaran itu terdapat buaya yang usianya 32 sampai 50 tahun.
Areal penangkaran ini seluas satu hektar lebih, oleh pemiliknya di dalam areal ini telah dibangun 78 bak penangkaran buaya dan setengah hektar tanah dibuat semacam danau tempat leluasa hidup di air dan naik ke darat yang belakang danau telah dipagari tembok panjang dengan tinggi sekitar 3 meter sebagai pembatas dengan areal perkampungan penduduk yang berada di sekitarnya. Agar terlihat oleh pengunjung danau ini diberi pagar besi jaring-jaring pengaman. Menurut pengakuan para turis yang telah datang berkunjung, ini adalah penangkaran buaya terbesar di dunia yang dikelola secara tradisionil, untuk menikmatinya biaya masuk hanya Rp 5000 bagi orang dewasa dan Rp 3000 bagi anak-anak.
Sebagai obyek wisata yang telah diakui oleh Pemko Medan, penangkaran ini nampak sangat bersahaja, penangkaran dikelola di dalam rumah penduduk biasa, cukup sederhana sebagaimana sederhananya rumah tangga Lo Than Muk bersama isterinya Lim Hiu Cu dengan dua anaknya Robert Lo (30) dan Robin (28).
Populasi yang besar membuat pemilik menjadi prihatin di dalam menyediakan pakan bagi buaya-buaya ini yang membutuhkan satu ton daging segar setiap hari sementara sumber pembiayaan hanya mengandalkan harga tiket masuk dari para pengunjung termasuk biaya pawang, pemeliharaan dan perawatan. Setidaknya dibutuhkan dana 1 juta perhari untuk biaya pakan, itu pun tidak semua buaya mendapatkan mangsa pakan setiap harinya yang berasal dari ternak yang mati umumnya ayam dan bebek. Bagi penduduk Kota Medan yang memiliki ternak lembu, kerbau, babi dan kambing yang mati biasanya di bawa ke tempat penangkaran ini.
Untuk mengurangi populasi pada tahun 2008 sebanyak 100 ekor buaya telah dikirim ke Banten dan telur-telur buaya oleh pemiliknya tidak ditetaskan lagi tetapi di konsumsi sendiri sebagai lauk makanan sehari-hari. Banyak peminat buaya yang datang untuk membeli buaya, tetapi pemiliknya tidak menjualnya karena binatang ini hanya untuk dipelihara dan dilarang oleh pemerintah untuk diperjualbelikan. Namun disayangkan selama ini bantuan pemerintah masih minim untuk membantu pemeliharaan dan pelestarian buaya.
Lo Than Muk tidak menyangka sama sekali, penangkaran buayanya berkembang menjadi 2.800 ekor. Awalnya dia hanya iseng memelihara buaya kecil 12 ekor yang didapat dari sungai-sungai yang ada di Kota Medan. Dari situ kemudian buayanya terus berkembang biak dan akhirnya dia buka penangkaran 1959 dan sempat tenar sebelum tahun 1998 sebagai objek wisata andalan Kota Medan. Lo Than Muk lahir di Aceh Timur pada 11 Maret 1928 telah lama tiada meninggalkan warisan buaya berikut areal penangkarannya, kini ke dua orang anaknya melanjutkan usaha pelestarian buaya-buaya ini.
Pada hari-hari biasa tempat ini sepi dari pengunjung, pada hari libur terutama libur hari-hari raya besar tempat ini masih ramai dikungjungi yang ingin melihat ekowisata buaya. Pengunjung dapat menikmati suasana pemberian makan buaya yang dilakukan satu kali dalam sehari pada pukul 17.00 WIB. Selain itu, dengan biaya 30 ribu rupiah untuk membeli pakan yang telah disiapkan oleh pemilik anda bisa memberi makan sendiri ke buaya-buaya ini. Hiburan lain di tempat ini, seorang pawang bernama Supriyadi akan melakukan atraksi buaya bersama seekor babon (kera) dengan membayar 50 ribu rupiah dan anda pun bisa berfoto bersama dengan buaya dengan duduk diatasnya.
Jika anda ke Kota Medan sungguh sayang jika tidak datang mengunjungi tempat ini.
Bisa juga di baca disini Salam Dialog
Areal penangkaran ini seluas satu hektar lebih, oleh pemiliknya di dalam areal ini telah dibangun 78 bak penangkaran buaya dan setengah hektar tanah dibuat semacam danau tempat leluasa hidup di air dan naik ke darat yang belakang danau telah dipagari tembok panjang dengan tinggi sekitar 3 meter sebagai pembatas dengan areal perkampungan penduduk yang berada di sekitarnya. Agar terlihat oleh pengunjung danau ini diberi pagar besi jaring-jaring pengaman. Menurut pengakuan para turis yang telah datang berkunjung, ini adalah penangkaran buaya terbesar di dunia yang dikelola secara tradisionil, untuk menikmatinya biaya masuk hanya Rp 5000 bagi orang dewasa dan Rp 3000 bagi anak-anak.
Sebagai obyek wisata yang telah diakui oleh Pemko Medan, penangkaran ini nampak sangat bersahaja, penangkaran dikelola di dalam rumah penduduk biasa, cukup sederhana sebagaimana sederhananya rumah tangga Lo Than Muk bersama isterinya Lim Hiu Cu dengan dua anaknya Robert Lo (30) dan Robin (28).
Populasi yang besar membuat pemilik menjadi prihatin di dalam menyediakan pakan bagi buaya-buaya ini yang membutuhkan satu ton daging segar setiap hari sementara sumber pembiayaan hanya mengandalkan harga tiket masuk dari para pengunjung termasuk biaya pawang, pemeliharaan dan perawatan. Setidaknya dibutuhkan dana 1 juta perhari untuk biaya pakan, itu pun tidak semua buaya mendapatkan mangsa pakan setiap harinya yang berasal dari ternak yang mati umumnya ayam dan bebek. Bagi penduduk Kota Medan yang memiliki ternak lembu, kerbau, babi dan kambing yang mati biasanya di bawa ke tempat penangkaran ini.
Untuk mengurangi populasi pada tahun 2008 sebanyak 100 ekor buaya telah dikirim ke Banten dan telur-telur buaya oleh pemiliknya tidak ditetaskan lagi tetapi di konsumsi sendiri sebagai lauk makanan sehari-hari. Banyak peminat buaya yang datang untuk membeli buaya, tetapi pemiliknya tidak menjualnya karena binatang ini hanya untuk dipelihara dan dilarang oleh pemerintah untuk diperjualbelikan. Namun disayangkan selama ini bantuan pemerintah masih minim untuk membantu pemeliharaan dan pelestarian buaya.
Lo Than Muk tidak menyangka sama sekali, penangkaran buayanya berkembang menjadi 2.800 ekor. Awalnya dia hanya iseng memelihara buaya kecil 12 ekor yang didapat dari sungai-sungai yang ada di Kota Medan. Dari situ kemudian buayanya terus berkembang biak dan akhirnya dia buka penangkaran 1959 dan sempat tenar sebelum tahun 1998 sebagai objek wisata andalan Kota Medan. Lo Than Muk lahir di Aceh Timur pada 11 Maret 1928 telah lama tiada meninggalkan warisan buaya berikut areal penangkarannya, kini ke dua orang anaknya melanjutkan usaha pelestarian buaya-buaya ini.
Pada hari-hari biasa tempat ini sepi dari pengunjung, pada hari libur terutama libur hari-hari raya besar tempat ini masih ramai dikungjungi yang ingin melihat ekowisata buaya. Pengunjung dapat menikmati suasana pemberian makan buaya yang dilakukan satu kali dalam sehari pada pukul 17.00 WIB. Selain itu, dengan biaya 30 ribu rupiah untuk membeli pakan yang telah disiapkan oleh pemilik anda bisa memberi makan sendiri ke buaya-buaya ini. Hiburan lain di tempat ini, seorang pawang bernama Supriyadi akan melakukan atraksi buaya bersama seekor babon (kera) dengan membayar 50 ribu rupiah dan anda pun bisa berfoto bersama dengan buaya dengan duduk diatasnya.
Jika anda ke Kota Medan sungguh sayang jika tidak datang mengunjungi tempat ini.
Bisa juga di baca disini Salam Dialog
1 komentar:
Thanks for info, jangan lupa kunjungi website kami https://bit.ly/2Kot9Sj
Posting Komentar