Situasi Sosial Politik di Papua: “IBARAT API DALAM SEKAM

Diposting oleh arief setiyawan di 02.54.00

Refleksi
Melihat tindakan kekerasan kemanusiaan yang menimpa rakyatnya; Tuarek Narkime, seorang tetua suku Amungme dalam perasaan duka yang mendalam, menumpahkan kekesalannya dengan mengatakan seperti berikut ini:

“ Saya selalu bertanya kepada Tuhan dalam pikiran dan doa-doa saya setiap hari, mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu dan salju yang indah itu di daerah suku Amungme..?. Apakah karena gunung-gunung batu dan salju yang indah dan kaya dengan sumber mineral itu yang menarik Freeport, ABRI, Pemerintah, dan orang luar untuk datang ke sini dan mengambilnya demi kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita..??. Dan oleh sebab itu, kami orang Amungme harus terus menerus di tekan, ditangkap, dan dibunuh tanpa alasan..??. Jika alasan itu yang kamu maksudkan lebih baik musnahkan kami, enyahkan kami agar kalian bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki – tanah kami, gunung kami, dan setiap penggal sumber daya kami.”

Pada suatu kesempatan lain dalam kekesalannya, Ia katakan begini:

“ Pegang parang ini,......... Ambil dan bunuh saya sebab saya sudah tidak tahan lagi melihat masalah-masalah yang sangat menyakitkan ini. Bunuh saya......., penggal kepala saya. Belah badan saya jadi dua, keluarkan semua isi perut saya dan letakkan bersama dengan kepala. Iris bagian kiri badan dan kuburkan setiap penggal dari sini (Tembagapura) sampai ke Yelsegel (Grastberg). Begitu pula dengan bagian irisan kanan: kuburkan dari sini (Tembagapura) sampai Amamapare (Port Site). Waktu pulang kumpulkan semua orang yang kalian tahan itu, semua orang Amungme, babi-babi dan semua yang kami miliki. Gali liang yang besar dan kuburkan kami semua bersama segala yang kami miliki. Timbun dengan tanah dan kemudian lakukan apa saja yang kamu inginkan diatas kuburan kami”

Di balik luapan emosionalnya, kemudian ia katakan “Tapi Saya percaya, Panah Putih Nemangkawi Arat (Salju Putih di Puncak Nemangkawi) dapat menyejukkan hati saya untuk menyelesaikan persoalan ini secara damai .“

Analogi Panah Putih Tuarek Narkime ini menggambarkan suatu konsep optimistik yang mampu membangkitkan rasa percaya diri, bahwa setiap konflik yang muncul dalam bentuk apapun dapat diselesaikan secara damai, asal saja kita mau membuka nurani kita untuk disejukkan oleh salju putih yang diibaratkan Tuarek sebagai panah putih Nemangkawi Arat untuk menembus kekerasan hati, egoisme, keserakahan, fanatisme agama, diskriminasi ras, sehingga dengan ketenangan jiwa, ketulusan hati dan rasionalisme, kita dapat membawa konflik kepada suatu kedamaian yang berkeadilan.

Kita semua sadari bahwa fenomena baru yang muncul saat ini sebagai implikasi dari aksi demoralisasi, yang telah memperhadapkan kita kepada konflik berkepanjangan di tanah air dan khususnya di Papua. Tindakan brutalisasi oleh rakyat terhadap aparat, sebaliknya aparat terhadap rakyat, bentrok antar warga berbeda etnis dan agama adalah akibat dari dipilihnya metode kekerasan sebagai solusi penyelesaian soal; sehingga turut pula menciptakan kekusutan hidup masyarakat (social dis-organization) yang menjurus kepada kelumpuhan sosial (social entropy) dan perpecahan di kalangan rakyat (social dis-integration). Fenomena baru tersebut terus dan sedang terjadi di depan mata kita. Haruskah kita diam menyaksikan korban-korban brutalisasi yang terus saja berjatuhan di depan mata kita.. ? atau mampukah kita membawa konflik ini kepada suatu suasana yang damai, benar, adil dan demokratis melalui DIALOG..??!

Dalam nurani semua pihak yang bertikai sebenarnya sangat menyadari adanya peluang penyelesaian konflik secara damai, namun kemunafikan, egoisme, kekuasaan dan kekayaan masih mempengaruhi watak bangsa ini sehingga, kadang upaya-upaya perdamaian hanya dijadikan sebagai simbol. Hal ini tergambar jelas dalam kampanyenya, seperti: Hentikan Kekerasan, gunakan forum dialog, manfaatkan saluran demokratis. Akan tetapi kesadaran kemanusiaan itu terbatas pada suatu seruan–ibarat suatu lagu kemanusiaan yang di nyanyikan suatu Paduan Suara, selesai menyanyi, bubar dan masing-masing kembali lagi kepada aktivitas semula, dan korbanpun terus berjatuhan.

Pelajaran emas dari Kasus Abepura (16-17/3/06) yang menelan korban (5 orang aparat keamanan) dan masyarakat sipil-mahasiswa orang, 3 orang (1 ibu dan dua anak kena tembakan peluruh nyasar) dan kerugian fisik akibat pengerusakan asmara-asrama mahasiswa oleh aparat keamanan (Brimob) saat melakukan penyisiran dan penangkapan mahasiswa di asrama-asrama, maupun masyarakat sipil di perkampungan-perkampungan penduduk, serta ratusan mahasiswa yang ketakutan malarikan diri dan tinggal di hutan. Kerusakan fisik gedung Aula UNCEN, peristiwa tersebut merupakan potret buram perlakuan pemerintah dan aparat keamanan yang terus menambah lembaran fakta-fakta kasus pelanggaran HAM di Papua.
Semua peristiwa yang terjadi dulu sekarang dan akan datang, merupakan akumulasi kekecewaan rakyat papua yang sudah cukup lama terpendam akibat tersumbatnya saluran demokrasi rakyat, kekerasan, intimidasi, teror, penangkapan, penculikan dan pembunuhan, kerusahakan lingkungan, di papua. Serta merupakan ekspresi spontan rakyat atas sikap pasif pemerintah yang tidak melihat, mendengar, merasakan, penderitaan rakyat yang telah berlangsung lama dari waktu ke waktu……dan tidak membuka diri untuk berdialog dengan rakyat papua untuk menyelesaikan berbagai persoalan di papua.
Di sisi lain, kondisi ini sengaja dibiarkan oleh pemerintah berlarut-larut sehingga wilayah papua tetap dijadikan sebagai daerah operasi militer, lahan bisnis oknum-oknum pemerintah, aparat keamanan, pengusaha-pengusahan. Sikap pemerintah pusat ini juga dilakukan juga oleh para pejabat-pejabat di papua yang haus kekayaan, kehormatan yang berujung pada merajalelahnya Korupsi secara besar-besaran di berbagai instansi pemerintah yang pada akhirnya membuat masyarakat menjadi korban.
Akankah kita sebagai bangsa yang berbudaya tinggi bertindak ibarat tim paduan suara yang hanya terus menerus melagukan lagu kemanusiaan tanpa ada penyelesaian masalah secara kemanusiaan pulah ...??

Ucapan almarhum Tuarek Narkime, seorang Kepala Suku yang lugu dan tidak berpendidikan masih menggema dibelantara pegunungan Papua “Telanjangi diri dari segala keangkuhan, egoisme, angkara murka dan singkirkan segala kepentingan dan kemunafikan, kemudian marilah duduk bersama-sama melihat soal dari kaca mata kemanusiaan”. Biarkanlah panah putih nemangkawi arat menembus relung hati, sehingga ada kesejukan, ketenangan jiwa, kasih sayang, dalam hati setiap pribadi pihak bertikai untuk membawa konflik kedalam suasana baru – Indonesia Baru yang demokratis.

Keprihatinan melihat kondisi sosial politik di tanah air, serta kekhawatirannya terhadap timbulnya konflik yang lebih besar secara khusus di Papua akibat akselerasi tuntutan Papua Merdeka, turut mendesak hadirnya tulisan ini, yang tentunya di harapkan dapat dijadikan bahan renungan bersama semua pihak, dengan demikian maka simbol Panah Putih Nemangkawi Arat-nya Tuarek Narkime dapat menjadi acuan bagi semua pihak untuk mencari jalan keluar penyelesaian berbagai masalah di Papua secara komprehensif dan damai yang menghormati nilai-nilai demokrasi dan ham. Semoga...................


Latar Belakang
Selama lebih-kurang 41 tahun rakyat Papua hidup dalam negara Indonesia sudah lebih dari 100.000 rakyat Papua yang dibantai. Pembangunan yang Jakarta buat untuk Papua selama ini hanya melahirkan penderitaan dan kesengsaraan karena merampas hak-hak masyarakat adat (250 suku) di negeri Papua, dimiskinkan dan kesehatannya buruk. Situasi buruk ini sudah sampai pada tingkat di mana rakyat Papua menghadapi apa yang disebut ‘Survival of the West Papuan People (suatu situasi tentang mati-hidupnya bangsa Papua). Universitas Yale (USA) dalam laporan penelitiannya, menyebutkan bahwa berbagai proses yang dilakukan militer dan pemerintah Republik Indonesia, baik melalui pembunuhan-pembunuhan secara kilat, penyiksaan dan pemerkosaan oleh aparat keamanan, pemerintah yang mengabaikan kesehatan dan ekonomi rakyat serta merusak lingkungan hidup orang Papua, displacement oleh pemerintah untuk kepentingan proyek-proyek pembangunan, dan sebagainya—semua itu adalah Crime Against Humanity dan dalam beberapa hal dapat mendekati Genocide. Michael Rumbiak (alm) dalam analisis demographisnya mengatakan bahwa orang Papua saat ini hanya 1 juta orang¹. Berbagai proses yang terjadi di Papua, baik operasi-operasi militer, family planning, pengabaian pemerintah terhadap kesehatan rakyat, arus migrasi dari luar yang luar biasa telah mengakibatkan orang Papua mengalami apa yang dikenal dengan Depopulasi (penurunan jumlah penduduk). Menurut perkiraan Michael Rumbiak kalau situasi ini tidak dicegah, maka dalam jangka waktu 20 sampai 25 tahun orang Papua akan minoritas dan punah diatas tanahnya sendiri.

Pemekaran provinsi Papua yang di dukung oleh pemerintah pusat dan militer bukan hanya punya maksud politik alias memecah persatuan orang Papua, tetapi yang paling berbahaya ke depan adalah influx of migrants yang akan menguasai dan mendominasi penduduk asli, kebudayaan asli Papua yang semakin terancam punah dan kontrol kekuasaan militer atas kebebasan bergerak dan fudamental freedoms akan dirampas. Pendeknya Papua Barat sedang digiring menuju “KEPUNAHAN”.

Rakyat Papua makin sadar bahwa, sejak bawah administrasi Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, yang dialami oleh rakyat Papua adalah nomor satu pembantaian terus menerus dan perampasan hak-hak masyarakat adat atas tanah untuk kepentingan investor asing dan lain sebagainya. Papua masih terus dipandang oleh Jakarta sebagai daerah periferi yang terus menerus dieksploitasi untuk kepentingan sekelompok elit di Jakarta yang menyebabkan masyarakat adat Papua termarjinal, miskin, dan kultur sebagai orang Melanesia terus di musnahkan. Orang Papua secara kultur mengidentifikasi diri sebagai bagian dari pasifik dan berkebudayaan Melanesia. Masalah psikologis ini telah membuat mereka merasa lebih berorientasi ke pasifik sebagai sesama rumpun ras Melanesia, namun identifikasi budaya tersebut telah dan terus dipotong dan dihancurkan oleh kepentingan politik, ideologi negara Republik Indonesia.” Kesadaran identitas ini terus terbangun sampai ke tingkat tertentu di mana mereka mulai merasa bahwa meskipun politik Indonesia yang sekarang diterapkan untuk pecah belah mereka, termasuk yang mendukung pembagian Papua menjadi beberapa propinsi, nasionalismenya tetap akan berjalan terus. Bilah kita jujur tanya dari seorang gubernur sampai dengan rakyat biasa di Papua, kalau dia mesti secara jujur, dia akan katakan bahwa ‘I want to be free’ (Saya ingin merdeka, Red).” “Fenomena ini bukan hal yang baru.

Analisis Konflik Di Papua
Bom Waktu Yang Tersimpan Rapih
Faktor pemicu konflik yang terus berkepanjangan di Papua, antara lain adalah: Pertama: Distorsi Sejarah; dimana rakyat Papua menganggap integrasi Papua Barat kedalam yuridiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Plebisit) pada tahun 1969 merupakan suatu tindakan aneksasi dan penyangkalan hak-hak politik orang Papua oleh komunitas internasional;

Kedua: Memoria Passionis; ingatan penderitaan masa lalu terhadap perlakuan pemerintahan rezim militerisasi orde baru yang dianggap razis dan diskriminatif telah menimbulkan trauma mendalam bagi orang Papua, dimana ada kondisi orang Papua diperlakukan sebagai hewan buruan oleh ABRI (sekarang TNI), sampai terciptanya suasana dimana “nyawa orang Papua lebih murah atau tidak semahal nyawa seekor ayam”;

Ketiga: Krisis Identitas; kondisi ini tercipta ketika orang Papua menyadari akan rasnya sebagai Ras Melanesia dan yang sudah tidak mampu lagi menahan diperlakukan dengan tidak adil dan sangat diskriminatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dalam negara kesatuan republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh penguasa maupun rakyat Indonesia lainnya. Budaya yang dihancurkan dan diprokporandakan dengan kehadiran agama kristen, pembangunan dan lain sebagainya.

Ke-empat; eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran untuk kepentingan negara tanpa memperhatikan hak kehidupan sosial ekonomi masyarakat; masyarakat termarginalisasi, hak ulayat diabaikan, ditindas, diintimidasi,diteror hingga di bunuh karena mempertahankan hak kepemilikannya. Contoh kasus PT. Freeport yang beroperasi sejak 1967-hingga saat ini, perusahan-perusahan HPH, dan lain sebagainya yang merugikan masyarakat.

Pemekaran provinsi-distrik telah membuka peluang bagi pelepasan ratusan-ribuan hektar tanah untuk lokasi perluasan pembangunan infrastruktur kantor pemerintahan pemekaran. Keterlibatan militer-polisi dalam berbagai perusahan-perusahan multi nasional-hph, tapi juga perampasan sumber daya alam (penyeludupan marga satwa, dll) dan pelepasan tanah adat untuk kepentingan pembangunan instalasi militer-polisi adalah wajah lain dari .

Perkembangan politik di Papua saat ini, ibarat seperti “API DALAM SEKAM” yang mulai membakar masyarakat akibat berbagai kelompok-kelompok kepentingan, yang eksploitasi Papua secara politik, ekonomi, sosial dan budaya untuk kepentingan mereka. Baik itu yang dilakukan oleh pemerintah pusat, provinsi papua, provinsi pemekaran irian jaya barat, pemerintah kabupaten diseluruh Papua (lama maupun yang baru di mekarkan), Investor, kelompok-kelompok perjuangan Politik, Milisia, dan individu-individu yang melakukan provokasi terhadap rakyat. Kondisi ini harus di waspadai, berkaitan dengan berbagai even lokal, nasional yang diselenggarakan baik di Papua dan diluar Papua.

Contoh kasus, ketika terjadi gejolak di Papua (1984), “±12 ribu orang Papua menyeberang ke Papua Nugini dan sampai sekarang, mereka bermukim di Papua Nugini sebagai pengungsi.” Tahun 1998-2001, terjadi pergolakan politik yang meluas di seluruh Papua seiring dengan jatuhnya Soeharto, dan tuntutan kemerdekaan Papua yang diawali dengan Dialog Nasional I perwakilan rakyat Papua dengan presiden BJ. Habibie (1999), Kongres Papua II (2000), pergantian nama Irian Jaya menjadi Papua, penyerangan, pembunuhan yang terjadi di Wamena (2000) yang berdampak, ratusan masyarakat migran dan papua sendiri mengungsi keluar dari wamena; pemberian Status Otonomi Khusus (UU No. 21, 22/2002 Otonomi Khusus dan Perimbangan Keuangan UU dan No. 45 /1999 Pemekaran Propinsi dan Kabupaten ) yang oleh pemerintah dianggap sebagai jalan keluar untuk menjawab dan sekaligus meredam gejolak sosial politik yang terus terjadi di Papua.

Namun sebelum Otonomi Khusus di implementasikan muncul Pemekaran provinsi Irian Jaya Barat (Inpres No. 1/2003), dan kemudian diikuti dengan deklarasi provinsi Irian Jaya Tengah di Timika yang menelan korban jiwa akibat perang suku antar masyarakat Amungme, Dani, Lani, Moni. Tapi juga dengan meningkatkan operasi-operasi militer yang ditujukan ke lokasi-lokasi basis gerakan OPM di hutan-hutan, tapi juga operasi teritorial dan intelejen di dalam kota terhadap aktivis-aktivis pro demokrasi-Ham dan Papua Merdeka. Puncak dari operasi militer dan intelejen tersebut adalah: penculikan dan pembunuhan terhadap Theys Hiyo Eluay (10/11/2001), operasi-operasi militer di Timika, Jayapura, Wamena, Merauke, Wasior (2000), Abepura (2000), Mariendi (2004), Puncak Jaya (Mulia-2004) Abepura (2005 dan 2006) yang menewaskan puluhan masyarakat sipil papua, pengungsian, dan trauma yang terus menerus dialami oleh masyarakat di wilayah–wilayah pegunungan tengah.

Selain itu terjadi juga konflik sumber daya alam antara masyarakat adat dan investor asing, yang menggunakan kekuatan militer untuk meredam dan menyelesaikan konflik secara represif. Sejak beberapa tahun terakhir telah terjadi beberapa kasus di seluruh Papua yang mengakibatkan masyarakat sipil menjadi korban (meninggal, luka-luka dan trauma). Perasaan tidak aman selalu menghantui masyarakat papua dalam memperjuangkan hak-haknya dari waktu ke waktu karena tidak ada jaminan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam mencari keadilan.

Berbagai peristiwa dan kondisi yang tidak stabil saat ini di Papua, telah menarik perhatian “seluruh masyarakat papua yang dipelopori oleh mahasiswa-lsm untuk memperjuangkan hak-hak asasinya, hal yang sama mendapat perhatian dari masyarakat indonesia secara umum dan masyarakat internasional”. Kekuatiran demi kekuatiran, perasaan cemas selalu menghantui melihat perkembangan politik di Papua yang terus bergolak. Situasi di Papua dilukiskan sebagai bom waktu yang siap meledak, kapan saja dan akan menyebabkan orang Papua dan migran terperangkap dalam konflik yang akan terjadi. Entah orang Papua yang tidak senang dengan militer, kalau tidak sanggup, mereka akan membantai pendatang seperti yang sudah terjadi beberapa waktu lalu. Itu akan menyebabkan konflik yang sangat luar biasa sekali, terutama konflik horisontal. Masyarakat Papua akan membantai pendatang. Alasannya karena gap (jurang, red) antara pendatang dengan masyarakat asli di Papua begitu besar sekali, secara ekonomi, sosial, dan lain-lain”.

Sadar atau tidak, masyarakat papua sedang dan terus digiring pada konflik berdarah, konflik rasial antar etnis, konflik antar agama, konflik rakyat pro papua merdeka dan pro NKRI dan lain sebagainya melalui berbagai operasi-operasi Intelejen baik secara tertutup-terbuka dengan terencana, sistematis dan meluas di seluruh Papua.


Ancaman Terhadap Hak Hidup Masyarakat Sipil di Papua.
Melihat fenomena perkembangan sosial politik di Papua tahun–tahun sebelumnya, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi 2 tahun (2005-2006) terakhir, “diduga” ada banyak agenda-agenda rahasia yang saat ini disiapkan oleh berbagai pihak baik birokrat Papua sendiri, maupun pemerintah dan militer di Indonesia, yang mengancam hak hidup masyarakat sipil di Papua. Situasi ini nampak jelas dengan pertarungan politik provinsi Papua-MRP dengan Pemerintah Pusat mengenai masalah keabsahan provinsi Irian Jaya Barat yang masih menjadi politik bagi masyarakat Papua.

Peluang konflik masih akan terus terjadi antara rakyat papua dengan pemerintah indonesia akibat kekerasan negara yang masih terus berlangsung di Papua. Misalnya operasi pengamanan wilayah terhadap gerakan-gerakan perlawanan rakyat dan demokrasi di berbagai daerah akan terus memicuh semangat perlawanan rakyat.

Konflik lebih besar akan bisa terjadi apabila pemerintahan SBY-Kalla tidak merespon tuntutan keadilan bagi Masyarakat Adat Papua atas berbagai peristiwa kemanusiaan, kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi SDA yang terjadi di papua saat ini.

Ancaman Terhadap Pembela Hak Asasi Manusia.
Ancaman Terhadap Hak Hidup Rakyat, Penegakkan Demokrasi, Hukum, HAM dan Perdamaian di Papua dan khususnya Human Right Defender masih terus berlangsung dan telah merengut ratusan nyawa manusia yang tidak berdosa. Tapi juga telah memporakrandakan tatanan nilai-nilai budaya masyarakat adat yang selama ini tertanam dalam kehidupan berbudaya masyarakat adat Papua. Kasus somasi Pangdam VIII Trikora terhadap Elsham Papua (pasca kasus timika 2002), dan ALDP (pasca pemaparan hasil investigasi, monitoring dan penelitian kekerasan negara di pantai barat/sarmi), teror, intimidasi, dll terhadap aktivis-aktivis HAM, pro demokrasi, mahasiswa beberapa tahun terakhir, menunjukkan betapa masih kuatnya represif negara dalam meredam aktivitas-aktivitas pekerja HAM di Papua. Dinamika pemikiran dan ideology kekerasan Negara-militeristik Jakarta yang menguat dan dilatar belakangi oleh konsep NKRI serta tersumbatnya gagasan politik dan hukum merupakan bagian dari mencuatnya polaritas kekerasan militer terhadap rakyat Papua yang berusuha Dialog, lobby, dll . Kejahatan hukum dari system peradilan yang merupakan bagian dari kejahatan negara terhadap rakyat telah turut mempengaruhi tatanan kehidupan dan pola pemikiran masyarakat – internasional terhadap permasalahan yang terjadi di Papua.

Tidak cukup berteriak saja terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua saja tetapi harus mendesak Indonesia untuk menerima Tim Ahli dari PBB untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, membentuk sebuah Komisi Ham yang independent untuk bekerja mengungkap kekerasan kemanusiaan untuk kemudian dipertanggungjawabkan; Permasalahan internal rakyat Papua yang majemuk dengan 254 suku bangsa, keragaman faksi perjuangan dan keragaman suku bangsa migran dimana ada proses yang terjadi dalam rakyat yang sementara berlangsung baik rakyat Papua, maupun rakyat pendatang (Pemikiran trans cultural) dan juga adanya dukungan penyelesaian Papua dari berbagai komponen masyarakat baik lokal maupun masyarakat pendatang, secara damai melalui dialog dan hal ini telah dilakukan.

Apakah budaya militeristik akan terus dijadikan solusi militer untuk menyelesaikan persoalan Papua di masa pemerintahan SBY-Kalla saat ini....? atau lebih baik wakil pemerintah Indonesia dan rakyat Papua duduk secara damai dan dialogkan persoalan ini. Sehingga kita menempuh win-win approach solution (solusi yang menguntungkan kedua pihak, Red).”

Apakah budaya militeristik akan terus dijadikan solusi militer untuk menyelesaikan persoalan Papua di masa pemerintahan SBY-Kalla saat ini....? atau lebih baik wakil pemerintah Indonesia dan rakyat Papua duduk secara damai dan dialogkan persoalan ini. Sehingga kita menempuh win-win approach solution (solusi yang menguntungkan kedua pihak, Red).”


Tawaran Inisiatif Penyelesaian Masalah Papua
Untuk mencegah sikap dan tindakan arogansi pemerintah dan militer yang represif terhadap kehidupan demokrasi masyarakat adat Papua, maka semua pihak, baik pihak legilatif, eksekutif, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga agama, lembaga adat, organisasi perempuan, organisasi mahasiswa dan organisasi kepemudaan, organisasi gerakan politik papua merdeka harus membuka diri dan melakukan upaya-upaya pencegahan konflik yang masih terus berlanjut dengan menciptakan ruang dimana adanya dialog antar rakyat, pemerintah-TNI-POLRI, dalam menyelesaikan masalah Papua secara demokrasi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan demikian maka agenda penting yang mesti dilakukan oleh Civil Society Groups di Papua dan Luar Papua adalah:
• Konsolidasi dan Rekonsiliasi untuk Mendukung lokal people initiative dalam membangun budaya/sustaining system Peace & Justice di Papua
• Membangun Jaringan Pendidikan HAM, PEACE dan Kesadaran Kritis Masyarakat akan bahaya dan ancaman pecahbelah dan adudomba pemerintah, TNI-POLRI, Investor Asing, Milisia, dan berbagai pihak yang tidak mengingkan papua aman dan damai.
• Pendidikan HAM dan PEACE kepada masyarakat tentang Hak-hak Dasar Masyarakat yang dilindungi oleh aturan-aturan hukum internasional dan bagaimana masyarakat melakukan proteksi diri.
• Undang-undang dan peraturan-peraturan Negara yantg melindungi hak-hak dan kewajiban masyarakat. Bagaimana masyarakat memproteksi diri dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki, untuk menyelesaikan konflik, mempererat hubungan kekerabatan, melakukan negosiasi, dll.
• Merekam pemikiran-pemikiran (kearifan Masyarakat) untuk di kembangkan dan di integrasikan sebagai konsep perlawanan rakyat secara damai.


Refleksi Atas Inisiatif-inisiatif Perlawanan Lokal
Hasil yang diapai melalui mode penyelesaian konflik adalah adanya kesedaran bersama di tingkat masyarakat untuk membangun perdamaian melalui dialog dengan berbagai pihak yang berkonflik. Situasi yang dihadapi adalah masih adanya oknum-oknum baik di masyarakat- pemerintah-militer yang merusak upaya perdamaian yang di ilakukan. Masyarakat lokal masih menghadapi tekanan –tekanan fisik-nonfisik dari pihak –pihak yang berkonflik. Hubungan koordianasi yang dibangun oleh LSM dengan inisiatif-inisiatif masyarakat sangat kuat dan baik. Dari berbagai kasus-kasus yang muncul usaha-usaha LSM adalah melakukan dialog dan kampanye, konferensi pers, kampanye publik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah-kelompok yang berkonflik.


Harapan Untuk Masa Depan
Masalah Politik, Ekonomi dan Identitas Papua Barat, akan terus menjadi kendala dalam proses penyelesaian konflik di Papua. Untuk menyelesainya, perlua semua pihak dengan hati nurani yang bersih, beralaskan dasar Kemanusiaan (dasar prinsipiil filosophis) kedua dasar Hukum (yuridis formal) dan ketiga adalah dasar Politik (dasar pragmatis) untuk duduk bersama-sama dalam satu Dialog mencari penyelesaian konflik di Papua secara adil dan bermartabat.

Karena jelas ada perbedaan paham atau pandangan, pendapat dsb. mengusulkan agar dalam pembicaraan tentang penyelesaian masalah ini ditentukan dasar atau norma utama. Norma utama atau”prima norma” yang harus kita terima bersama adalah: prinsip:”Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Norma inilah yang harus menjadi acuan pertama dan acuan bersama. Prinsi utama ini harus menjadi prinsip yanag mendasari pertimbangan-pertimbangan lain dalam menyelesaikan masalah konflik. Dengan prinsip ini, maka “perdamaian” merupakan kata dan konsep kunci dalam penyelesaian masalah atau perbedaan kepentingan yang ada. Perspektif “perdamian” harus merupakan perspektif pokok dalam penyelesaian perbedaan kepentingan ini.

Bila proses ini yang ditempuh, maka persoalan di bawah ini harus diselesaikan dengan dan dalam perspektif “perdamaian” itu, dengan prinsip utama yang menjadi dasar adalah “kemanusiaan yang adil dan beradab.”:

1. Apakah Papua Barat akan merdeka sebagai bangsa dan negara sendiri ataukah tetap menjadi bagian integral dari Bangsa dari negara Republik Indonesia?
2. Apakah pelanggaran-pelanggaran HAM terutama pelanggaran HAM berat yang selama ini (40th) terjadi di bumi Papua Barat akan dituntaskan secara hukum atau dibiarkan begitu saja?
3. Apakah pelanggaran-pelanggaran-pelanggran hak asasi manusia masih akan terus berlangsung terus atau dapat segera dihentikan dan pelanggarnya diproses sesuai dengan hukum yang berlaku?
4. Apakah pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya akan di akhiri dan pelakunya ditindak dan diproses secara hukum?
5. Bagaimanakah tindak kekerasan, terutama yang dilakukan oleh aparat tetapi juga yang dilakukan oleh warga masyarakat yang bersenjata dapat segera dihentikan, dan keamanan serta ketenteraman masyarakat dapat dijaga dengan baik?
6. Bagaimana perdamaian segera dapat terlaksana( (terwujud) di bumi Papua Barat dan tetap terpelihara dari segala ancaman kekerasan (bersenjata)?

Mungkin saja pemikiran ini jauh dari sempurnah, namun paling tidak ada satu wacana pemikiran yang dibangun bersama oleh semua pihak untuk merumuskan proses-proses penyelesaian masalah di Papua secara komprehensif. Karena bilah hanya satu masalah yang menjadi prioritas untuk diselesaikan, tidak akan menyelesaikan masalah Papua. Karena Bim Waktu yang telah ditanam oleh pemerintah Hindia Belanda, Amerika, PBB dan Indonesia dalam proses PEPERA, akan terus menjadi sumber pemicuh konflik di Papua dari tahun ke tahun. Harapannya semoga kedamaian dan ketenteraman, dapat terwujud di masyarakat.

Semoga……………..“ Panah Putih Nemangkawi Arat (Salju Putih di Puncak Nemangkawi) dapat menyejukkan hati saya untuk menyelesaikan persoalan ini secara damai .“

0 komentar:

Posting Komentar

Kaca Ngajeng

Related Posts with Thumbnails
Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Daftar Blog Sahabat