Semburan Minyak Teluk Meksiko Versus Lapindo

Diposting oleh arief setiyawan di 23.13.00

Bagian 1

Para ahli dan teknisi British Petroleum (BP) berjuang keras menutup kebocoran sumur bawah laut di Teluk Meksiko. Mereka berjibaku sejak 20 April lalu, saat pertama kali pipa minyak bocor. Mereka optimistis kebocoran bisa dihentikan agar pesisir pantai Amerika Serikat tidak tercemar berat oleh tumpahan minyak. Tak ingin reputasinya hancur, BP menempuh segala hal, termasuk menyediakan dana miliaran dolar, guna menjinakkan semburan. BP terancam diseret ke meja hijau jika terbukti melanggar (Koran Tempo, 3 Juni).

Kasus ini menjadi sorotan dunia. Dengan semburan 3.000-5.000 barrel minyak per hari, ini merupakan pencemaran terburuk dalam sejarah Amerika, melampaui bencana tumpahan minyak dari tanker Exxon Valdez (1989) ,yang menebarkan minyak di laut lebih 245 ribu barel. Pemerintah Amerika memperkirakan, 18-40 juta galon minyak mentah telah mencemari Teluk Meksiko. Ekonomi dan lingkungan terancam.

Pemerintah Barack Obama mendapatkan tekanan oposisi, pencinta lingkungan, dan warga Amerika. Reputasi Obama di dalam negeri merosot drastis. Akibat kasus ini, Obama menunda kembali kunjungan ke Australia dan Indonesia. Tapi Obama tetap bisa bersikap tegas: BP harus menghentikan kebocoran. BP harus bertanggung jawab atas kebocoran dan kerusakan lingkungan. Agar tak terjadi bencana serupa, Obama akan merevisi hukum dan peraturan yang mengawasi industri minyak. Amerika bahkan menyiapkan diri menghadapi skenario terburuk apabila kebocoran belum bisa dihentikan hingga Agustus nanti.

Sejauh ini belum ada tanda-tanda kebocoran berhenti. Namun pelbagai upaya keras--pemerintah Obama dan BP--membuat optimisme warga Amerika terjaga bahwa kebocoran bisa dihentikan. Meski sedih dan kesal, Obama juga menularkan optimisme kepada warga. "Kami tidak akan menyerah sampai kebocoran bisa dihentikan, hingga air dan pantai-pantai dibersihkan, hingga orang-orang yang menjadi korban bencana buatan manusia ini mendapatkan hidupnya kembali," kata Obama. Menjaga optimisme itu amat penting. Bahkan, kata orang bijak, optimisme itu setengah dari sebuah keberhasilan.

Kondisi kontras terjadi di Indonesia. Sejak menyembur pertama kali pada 29 Mei 2006, sampai sekarang semburan lumpur panas terus terjadi di Sumur Banjarpanji, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, milik Lapindo Brantas. Sekitar 600 hektare kawasan terkena dampak semburan lumpur panas. Ribuan keluarga dipindahkan dari lokasi bencana, termasuk pabrik. Infrastruktur publik, seperti jalan dan rel kereta api, rusak. Tak terhitung kerugian sosial-ekonomi yang diderita rakyat Jawa Timur akibat petaka lumpur panas itu.

Sementara BP dan pemerintah Obama berjuang keras menghentikan kebocoran minyak di Teluk Meksiko, sebaliknya semburan lumpur panas di Sidoarjo dibiarkan. Pemerintah dan PT Lapindo Brantas menyerah dan menganggap sebagai fenomena alam, seperti putusan Mahkamah Agung bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam. Bahkan muncul ide dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadikan pusat semburan lumpur sebagai kawasan wisata. Bencana dan derita dianggap sebagai sesuatu yang layak jadi tontonan.

Seperti Obama dan BP, seharusnya SBY dan Lapindo berpikir keras menemukan cara menghentikan semburan lumpur panas. Menurut perkiraan para ahli, semburan bisa terjadi 30 tahun, bahkan 100 tahun, lamanya. Kalau semburan berlangsung selama itu, dampak sosial-ekonominya akan luar biasa besar. Patahan-patahan akan terjadi karena struktur di dalam tanah jadi kosong. Semburan gas beracun dan karsinogenik yang mencapai 180 buah akan semakin banyak. Ini jadi mesin pembunuh pelan-pelan. Hampir semua negara yang memiliki lapangan migas pernah mengalami hal serupa, baik di Indonesia, Amerika, Eropa, maupun Asia. Tapi semua semburan bisa dijinakkan (Rubiandini, 2010).


Bagian 2

Sayangnya, dalam kasus lumpur di Porong, pemerintah dan Lapindo mangkir. Lumpur dibiarkan menebarkan maut. Untuk menghentikan semburan pernah dicoba metode dynamic killing memakai relief well, metode yang sama dengan di Teluk Meksiko. Namun, dengan alasan tidak ada dana, teknologi yang sudah dikuasai para ahli anak negeri itu tidak dilanjutkan. Sejarah bakal mencatat, pemerintah Presiden SBY dan Lapindo mangkir dari salah satu kewajiban pentingnya: tidak melindungi hak-hak warga dari semburan lumpur. Padahal di buku-buku teks kebijakan publik menegaskan, perlu peran pemerintah mengoreksi eksternalitas negatif akibat aktivitas ekonomi. Dengan demikian, biaya sosial eksternalitas tidak ditanggung warga yang "tak bersalah".

Kehadiran peran pemerintah mutlak adanya (Mustasya, 2007). Sebab, pertama, kerugian dan hilangnya hak milik warga sudah terjadi dan begitu nyata. Kedua, kekuatan tawar Lapindo dan warga bersifat asimetris. Dalam kondisi seperti itu, negosiasi bipartit antara Lapindo dan warga mustahil berlangsung secara adil. Ketiga, kerugian warga bukan disebabkan oleh wanprestasi dari sebuah perjanjian ekonomi privat, seperti dalam penipuan multilevel marketing. Kasus ini lebih merupakan hilangnya hak milik warga negara akibat kegiatan ekonomi pihak tertentu yang tidak mengindahkan prinsip kehati-hatian.

Pemerintah harus membuat terobosan, sehingga kesalahan Lapindo dapat ditarik dan dibebankan ke pundak petinggi perusahaan ini, bukan melulu operator lapangan. Cara ini juga untuk mencegah pengalihan tanggung jawab Lapindo jadi beban negara. Kasus bangkrutnya perusahaan energi raksasa, Enron, di Amerika pada 2001 bisa jadi ilham. Terbukti menipu keuangan, CEO Enron Jeffrey Skilling divonis hukuman penjara 24 tahun 4 bulan. Para petinggi Enron bahkan harus menyerahkan aset-aset pribadi untuk ganti rugi. Hukuman berat itu menunjukkan pentingnya sebuah perekonomian pasar yang melindungi hak-hak pelakunya dan publik. Dalam kasus Enron, yang dilindungi investor dan 21 ribu pegawai. Dalam satu aspek, perilaku Lapindo lebih destruktif dibanding Enron. Lapindo merugikan orang-orang yang sama sekali tak mempunyai akad ekonomi dengan perusahaan itu. Mereka bukan investor atau pegawai, tapi mereka kena getahnya.

Masalahnya, terobosan SBY itu akan membentur tembok tebal ekonomi-politik. Pemilik Lapindo adalah pemain penting di pasar politik. Konsekuensi ketegasan SBY akan bisa mengubah keseimbangan politik yang pasti merepotkan. Apalagi, dengan posisi pemilik Lapindo sebagai Ketua Harian Sekretariat Gabungan Partai Koalisi, yang bisa mengendalikan partai koalisi, SBY harus berbagi kuasa di pasar politik. Ini semua menegaskan satu hal: mustahil akan ada terobosan. Itu berarti derita korban lumpur akan berkelanjutan, tanpa ada keterlibatan tangan-tangan negara. Apabila di kemudian hari kasus lumpur Lapindo ini dijadikan yurisprudensi, saat itulah malapetaka besar telah tiba.

http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/...87,id.html

0 komentar:

Posting Komentar

Kaca Ngajeng

Related Posts with Thumbnails
Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Daftar Blog Sahabat