Pemilik Aji Pancasona,Mayatnya Digantung

Diposting oleh arief setiyawan di 23.43.00

Di jalan Melati, Blitar, Jawa Timur, ada sebuah makam tua yang lebih dikenal dengan nama makam Gantung. Predikat yang melekat pada makam tua ini, sangat singkron dengan kondisi makam tersebut. Pasalnya, makam ini memang dalam posisi tidak menyentuh tanah. Karena itu, masyarakat Blitar menyebutnya dengan nama, Makam Gantung. Keunikannya, tak sedikit para penjiarah yang datang ke makam Bung Karno, menyempatkan diri berjiarah ke makam gantung.
Selain mendoakan tokoh sakti yang makamnya tidak menyentuh tanah ini, mereka sengaja ingin menyaksikan keunikan dari makam itu. Apalagi, jarak makam Bung Karno dengan makam gantung, hanya terpaut sekitar satu kilometer.
Eyang Joyodigo, inilah nama tokoh sakti yang makamnya dibuat itidak menyentuh tanah. Menurut penuturan juru kunci makam gantung, Biran, 74 tahun, semasa hidupnya, Eyang Joyodigo dikenal sebagai satu-satunya tokoh pada zamannya yang memiliki ilmu Aji Pancasona. Yakni, ajian yang ketika mati dapat hidup kembali asal jasadnya menyentuh tanah. Karena itu, ketika tokoh ini meninggal di usia senja, kemudian makamnya dibuat tidak menyentuh tanah. Jasadnya dimasukan kedalam peti besi, kemdian disangga dengan empat penyangga yang juga terbuat dari besi.
Karena makamnya tidak menyentuh tanah, walau jasadnya disangga dalam peti besi, masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Makam Gantung. Sedangkan di bawah serta di kiri-kanannya, dimakamkan para keluarga Eyang Joyodigo.
Masih menurut penuturan juru kunci, dalam epos Ramayana, saat itu hanya satu yang memiliki Aji Pancasona, yakni saudara kembar Sugriwo yang bernama Subali. Keduanya, berasal dari bangsa kera.
Namun, karena rayuan Rahwana, kemudian ilmu Aji Pancasona jatuh ke tangah raja dari Alengka ini. Lalu bagaimana Aji Pancasona bisa dikuasai oleh Eyang Joyodigo?
Menurut juru kunci lagi, semasa hidup, tokoh ini dikenal suka laku tirakat. Berbagai macam ilmu telah dikuasai. Termasuk Aji Pancasona. Bahkan gurunya, tak hanya dari bangsa manusia saja. Tapi ada juga yang berasal dari bangsa lelembut. Tak heran, jika Eyang Joyodigo bisa menguasai ilmu Aji Pancasona yang pemilik aslinya, tinggal cerita.
“Beliau semasa hidupnya, berguru sosok gaib pemilik pertama Aji Pancasona,” terang juru kunci yang juga mantan tentara PETA.
Lalu siapa sebenarnya Eyang Joyodigo? Sebagaimana yang dituturkan Biran kepada Misteri, tokoh ini dulunya sahabat dekat Pangeran Diponegoro. Tak hanya sahabat juga, karena Joyodigo juga trah darah biru dari Mataram.
Dan pada tahun 1825, timbul perselisihan antara Belanda dengan Pangeran Diponegoro. Penyebabnya, pihak keraton bagi Diponegoro, terlalu merendahkan martabatnya. Keraton Yogyakarta, seakan-akan berdiri hanya karena kemurahan hati Belanda.
Tak hanya itu, yang membuat darah Diponegoro mendidih. Saat itu, kekuasaan raja-raja di tanah Jawa terus dipersempit. Apalagi, kekuasaan raja disamakan dengan kedudukan pegawai tinggi pemerintahan Kolonial. Bahkan, pemerintah kolonial terlalu jauh mencampuri urusan keraton dengan cara ikut campur dalam hal pergantian raja.
Lebih menyakitkan lagi bagi Diponegoro, pihak Belanda memungut pajak jalan, ternak, rumah, serta hasil bumi kepada rakyat jelata. Karena itu, ketika kompeni membuat tanda tapal batas untuk jalan yang melewati tanah leluhurnya, tanda tapal batas itu langsung dicabut.
Dengan begitu, api peperangan telah tersulut. Selama dalam masa peperangan yang berlangsung lima tahun (1825-1830), salah satu pengikut pangeran Diponegoro yang setia yakni, Joyodigo. Bersama Diponegoro, Joyodigo terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Tak hanya sekali, tokoh sakti ini tertangkap dan dieksekusi mati oleh Belanda. Namun, karena mempunyai Aji Pancasona, begitu jasadnya dibuang oleh Belanda, Joyodigo hidup lagi tanpa sepengetahuan kompeni.
Hingga pada akhirnya, di tahun 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap karena siasat licik pihak kompeni. Namun, walau Pangeran Diponegoro telah diasingkan ke Makasar setelah tertangkap, bukan berarti darah pejuang Joyodigo padam.
Walau saat pecah perang Pangeran Diponegoro, usianya masih menginjak sekitar 30-an, namun dia terus melakukan perang gerilya bersama pengikut Pangeran Diponegoro yang lain. Namun, karena saat itu wilayah Yogyakarta terlalu banyak penjagaan oleh kompeni, Joyodigo memilih perang gerilya menuju arah timur.
Singkat cerita, dalam perjalanannya ke arah timur, setiap pos Belanda yang lengah, pasti diserang. Hingga pada akhirnya, sampailah Joyodigo di wilayah Blitar. Di kota ini, tanpa sepengetahuan pihak penguasa Blitar saat itu, Joyodigo terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Merasa wilayahnya aman dari pemerasan kompeni, kemudian Adipati Blitar saat itu, mengirim pasukan telik sandi (intel) untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah membuat takut kompeni di wilayah Blitar.
Hingga pada akhirnya, telik sandi yang dikirim oleh sang Adipati, menemukan Joyodigo di sebuah hutan yang masuk Blitar Selatan. Atas perintah Adipati Blitar, telik sandi mengundang Joyodigo untuk datang ke pendopo.
Namun permintaan utusan Adipati Blitar ini ditolak dengan halus. Alasannya, Joyodigo saat itu, masih sibuk melatih laskar untuk mengusir kompeni.
Karena penolakan halus dari Joyodigo ini, kemudian telik sandi langsung pulang dan melapor kepada Adipati. Dua tahun kemudian, Adipati Blitar kembali mengirim utusan. Saat itu, patih di kadipaten Blitar mangkat dan harus segera dicarikan pengganti.
Maksud Adipati mengirim utusan yang kedua, agar Joyodigo bersedia menjadi patih di kadipaten Blitar. Dan karena banyak pihak kompeni yang meninggalkan Blitar lantaran serangan gerilya pasukan Joyodigo, tokoh ini bersedia menerima tawaran Adipati Blitar.
Sebagai seorang keturunan darah biru dan pernah tinggal di keraton, ketika diangkat menjadi patih di kadipaten Blitar, Joyodigo sudah tak asing lagi dengan pemerintahan. Patih Joyodigo mampu mengambil kebijakan yang sangat cakap.
Hal inilah yang membuat salut sang Adipati Blitar. Karena kecakapan ini, kemudian sang Adipati memberinya tanah perdikan yang sekarang berada di Jalan Melati, Kota Blitar. Di tanah perdikan ini, Joyodigo kemudian membangun sebuah rumah besar untuk keluarganya dan diberinya nama Pesanggerahan Joyodigo.
Rumah yang didirikan oleh Joyodigo tersebut, hingga kini masih berdiri kokoh. Sebagai manusia biasa, walau mempunyai Aji Pancasona, Joyodigo akhirnya wafat pada tahun 1905 diusia seratus tahun lebih.
Karena khawatir akan hidup lagi begitu menyentuh bumi, kemudian oleh para kerabat, makamnya diusahakan agar tidak menyentuh tanah. Jasad Joyodigo dimasukkan ke dalam peti besi, dan peti itu kemudian disangga dengan empat tiang yang juga terbuat dari besi seperti yang tampak sekarang ini.
“Di usia yang sudah lebih seratus tahun, kan kasihan kalau Eyang terus menerus hidup lagi setelah meninggal. Karena itu, makamnya dibuat menggantung agar tidak menyentuh tanah. Kalau asal-usulnya ya, seperti yang saya katakan tadi. Eyang Joyodigo merupakan keturunan darah biru dari Mataram dan pernah menjadi patih di Kadipaten Blitar sini. Kalau saudara beliau, mantan bupati Rembang yang juga suami dari RA. Kartini,” terang juru kunci yang telah menjaga makam Eyang Joyodigo lebih dari 20 tahun.
Sebagai makam seorang tokoh sakti pada zamannya, kini makam Eyang Joyodigo pada hari-hari tertentu banyak didatangi oleh para peziarah. Terutama yang datang dari kalangan spiritualis. Beda dengan para peziarah biasa, kaum spiritualis ini datang ke makam Eyang Joyodigo dengan maksud tertentu, yakni ingin berguru kepada Eyang Joyodigo dengan cara gaib. Tujuannya, agar mendapat titisan ilmu Aji Pancasona.
Menurut juru kunci, hingga kini, tak seorangpun spiritualis yang berhasil mendapatkan titisan ilmu Aji Pancasona dari Eyang Joyodigo. Jangankan diberi titisan ilmu Aji Pancasona, diberi ilmu yang kesaktiannya dibawah Aji Pancasona saja tidak. Bahkan tak jarang, para spiritualis yang sedang menjalani laku di makam Eyang Joyodigo, justru diusir dengan suara tanpa rupa.
“Apa dikira mudah belajar ilmu Pancasona. Karena salah satu syaratnya yaitu harus bertapa Ngalong, menggantung di pohon dengan kepala di bawah selama empat puluh hari empat puluh malam tanpa makan dan minum. Yang datang ke sini itu kan cuma spiritualis masa kini. Mereka bukannya mendapat ilmu, tapi justru diusir,” papar juru kunci sembari tertawa.
Bagi masyarakat Blitar, selain makam sang Proklamator, makam Eyang Joyodigo juga dikeramatkan. Sebagai makam yang dikeramatkan, menurut Boiran, makam Eyang Joyodigo dijaga dua sosok gaib berwujud dua binatang besar, yakni seekor ular sebesar batang pohon kelapa, serta seekor harimau loreng sebesar anak sapi.
Menurut juru kunci lagi, tak hanya dirinya saja yang pernah melihat kemunculan dua sosok gaib berwujud binatang itu. Konon, tak sedikit para peziarah, khususnya kaum spiritualis, yang melihat kemunculan dua sosok gaib berwujud ular dan harimau itu.
Masih menurut Boiran, sebenarnya dua sosok gaib penjaga makam ini, dulunya merupakan pengawal pribadi Eyang Joyodigo semasa hidup yang berasal dari bangsa lelembut berwujud binatang.
Karena kesetiaannya kepada majikan, hingga Eyang Joyodigo wafat, kedua sosok gaib itu masih setia menunggui makam majikannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Kaca Ngajeng

Related Posts with Thumbnails
Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Daftar Blog Sahabat